Friday, November 09, 2007

Apartement dan Housing as a verb....

Jakarta dan Bandung, dua kota besar di Indonesia. Penduduknya makin banyak dari tahun ke tahun, ada yang dateng untuk cari kerja, ada yang sekolah, ada yang ikut keluarga atau suami/istri, atau alasan-alasan lainnya (apa yah?). Mereka pastinya butuh tempat tinggal, dan dengan bertambahnya penduduk maka infrastruktur dan pelayanan kota harus sanggup melayani pertambahan penduduk tersebut. Padahal tanahnya sendiri, tempat semua itu bakal dibangun, nggak bertambah.

Dalam hal perumahan, harusnya mulai banyak perumahan vertikal, atau bertingkat. Karena semua mau tinggal di kota, padahalnya lahannya terbatas. Tapi kenapa disaat tanah itu barang langka, harga apartemen masih lebih mahal daripada harga rumah?? Padahal logikanya, orang yang mau punya rumah harusnya bayar lebih mahal karena tanah yang dia mau bangun sebenernya bisa lebih guna kalo dijadiin apartemen yang bisa dipake sama berpuluh-puluh keluarga.

Jadi penasaran, apa memang bangun apartemen itu lebih mahal daripada bangun perumahan? Soalnya kemaren dapet tugas yang intinya kita ceritanya jadi developer. Seinget gw sih yang paling mahal biaya yang berurusan sama lahan. Jadi sebenernya kalo dengan lahan 4 rumah yang beli bisa 70 keluarga, harusnya harganya bisa lebih murah kan? Harusnya pembangunan rumah susun sederhana, apartemen murah bisa marak. Trus kenapa nggak dong?

Nah, waktu studio proses semester lalu...bahasannya perumahan juga. Waktu ditanya ke yang tinggal di tempat kumuh, daripada direlokasi ke tempat yang jauh, mau nggak dibikinin rumah susun? Ternyata banyak yang bilang nggak mau. Yang bagus sekalipun. Kenapa? Karena nggak napak tanah, sempit, dan nggak bisa diagunin/bukan hak milik. Tapi direlokasi di tempat yang jauh pun nggak mau.

Yang terakhir ini bikin bingung. Soalnya menurut teori, harusnya orang miskin saat harus memilih punya tempat tinggal atau kepemilikan, mereka pasti milih punya tempat tinggal. Harusnya (menurut teori sih), mereka nggak akan nerima tempat tinggal hak milik kalau jauh dari tempat kerja mereka. Karena costnya nanti lebih besar lagi untuk transport. Hebat banget kan orang miskin kita? Udah dipikirin, biar mereka ga usah pindah keujung dunia, bisa tetep kerja ditengah kota, tapi ga mau. Maunya dikasih rumah tengah kota. Ampuuunnn...!!!

Nah, gw ngga tau nih apakah budaya ‘kalo ngga mijak tanah bukan rumah namanya’ ini berlaku juga dikalangan menengah. Belum survey. Tapi kalo memang iya, ya mungkin ini penyebabnya kenapa model perumahan vertikal ga populer di Indonesia. Banyak sih apartemen di Jakarta, di Bandung juga ada beberapa. Tapi bukan yang menengah kebawah. Menengah keatas semua. Mungkin budaya ‘kalo nggak mijak tanah bukan rumah namanya’ ini nggak berlaku buat kalangan atas karena mereka biasa keluar negri atau kenapalah. Jadi pasarnya memang kalangan menengah keatas.

Atau bisa juga karena perbedaan pengertian. Ada yang namanya housing as a noun, sama housing as a verb. Housing as a noun itu perumahan/rumah dilihat sebagai benda, objek, untuk menunjukkan status. Sedangkan kalo housing as a verb itu artinya ber-rumah. Maksudnya membangun rumah atau keluarga, sebagai tempat berteduh, tempat berpulang (Hohohh...gaya baru blajar...). Orang Indo mungkin melihat rumah sebagai sekedar objek. Jadinya kita melihatnya sebagai house, bukan home. Bukan yang penting adalah keluarganya, tapi bentuk rumahnya. Ngerti ga maksud gw?

Ya kalo pola pikir ini diterusin, bisa repot. Kalo mau tinggal di kota, ya harus mau tinggal di perumahan vertikal. Cepat atau lambat. Kalo nggak mau ya pindah aja ke Kalimantan, Papua, masih kosong kan tuh. Tapi jawabannya pasti “Disana ada apa coba?”. Yeeuhh...

No comments: